PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Indra Saputra
Jaya/ 10519242015
Universitas Muhammadiyah Makassar
Email : indra.tigaputra09@gmail.com
Pembimbing
Dr. Rusli, M.Ag.
ABSTRAK
Indra Saputra Jaya. 105 192 420 15. 2019. Pengembangan Kecerdasan Emosional
Pada Anak Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan kecerdasan emosional
pada anak. Untuk mengetahui cara pengembangan kecerdasan emosional pada anak
menurut perspektif pendidikan Islam. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Karena permasalahan yang akan diteliti tentang bagaimana
pengembangan kecerdasan emosional anak menurut perspektif pendidikan Islam maka
dari itu diperlukan banyaknya literatur yang relevan dan sesuai dengan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun proses analisis data, penulis
menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari empat kegiatan yaitu
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini dapat dirangkum
sebagai berikut: Pengembangan kecerdasan
emosional aspek yang begitu penting bagi anak untuk itu beberapa langkah yang
harus dimiliki dalam mengembangkan wilayah kecerdasan emosional, antara lain
kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain serta membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Cara pengembangan kecerdasan emosional pada anak itu berdasarkan dari
lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan sosial/masyarakat perlu memberikan
teladan dalam bentuk memberikan suasana bermain yang merefleksikan wilayah
kecerdasan emosional anak tersebut.
Kata Kunci:
Kecerdasan Emosional, dan Pendidikan Islam
PENDAHULUAN
Pendidikan
anak sudah menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat serta menjadi kewajiban dan tanggung jawab
bersama antara orang tua, masyarakat dan negara. Untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan tersebut, orangtua memiliki kewajiban khusus untuk mendidik dan
memberikan perhatian kepada anaknya
Anak
adalah harapan orangtua, orangtua selalu berkeinginan anak-anaknya menjadi
pribadi yang baik dan taat beragama, sehingga berbagai usaha pendidikan
dilakukan agar mencapai seperti apa yang diharapkan. Namun apa yang terjadi
adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa
yang ada sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah
dalam hidupnya di dunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima
segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan
dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya.[1]
Setelah
anak beranjak dalam lingkungan sekitar dan berhasil beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya maka anak akan mendapatkan kepribadian pribadi maka dari
itu orang tua harus waspada terkait hal tersebut. Orang tua harus membuat
kesibukan yang mengarah keperbaikan perilaku yang baik kepada anaknya seperti
halnya membuat program untuk anaknya secara rutin, dengan kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat secara jasmani dan rohani. Anak harus dibiasakan dengan hal-hal
yang mendorong kemajuan otak kanan dan kirinya secara seimbang, sehingga
kecerdasan intelektual dapat sebanding dengan kecerdasan emosional.
Anak
yang memiliki kecerdasan emosional merupakan anak yang memiliki keterampilan (skill) diantaranya keterampilan memahami
pengalaman emosi pribadi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, memahami emosi
orang lain, dan mengembangkan hubungan dengan orang lain. Namun dalam hal yang
terjadi sekarang, kecerdasan emosional menjadi barang yang mahal dan langka.
Aktualisasi kecerdasan anak dalam mengendalikan amarah dan kemampuan
menyesuaikan diri serta memecahkan masalah antar pribadi masih bisa dikatakan
cukup rendah. Terbukti dengan adanya survei terhadap orang tua dan guru-guru di
sekolah memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di pelosok negeri, yaitu
generasi sekarang , lebih banyak mengalami kesulitan emosional dari pada
generasi sebelumnya seperti halnya lebih kesepian dan pemurung, lebih gugup dan
mudah cemas, lebih impulsif dan agresif, dan kurang menghargai dan sopan
santun.
Menurut Goleman,
kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20 % bagi kesuksesan,sedangkan 80
% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan
emosional atau Emotional Quotient (EQ)
yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan
hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerjasama.[2]
Dilihat dari ajaran Islam, anak amanat Allah. Amanat
wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak
tidaklah kecil.[3]
Hal ini merupakan suatu wujud pertanggungjawaban dari setiap orang tua anak
kepada khaliknya. Terdapat dalam Al-Quran ada banyak ayat yang menyerukan keharusan
orang tua untuk selalu menjaga dan mendidik seluruh anak-anaknya, sebagaimana
yang ditegaskan dalam QS. At-Tahrim ayat (66) 6:
$pkr'¯»t
ÓÉ<¨Z9$#
zOÏ9
ãPÌhptéB
!$tB
¨@ymr&
ª!$#
y7s9
( ÉótGö;s?
|N$|ÊötB
y7Å_ºurør&
4 ª!$#ur
Öqàÿxî
×LìÏm§
ÇÊÈ
Terjemahannya:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dari keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S At-Tahrim:6).[4]
Seringkali
kita menjumpai seseorang yang mengalami kegagalan bukan disebabkan kecerdasan
intellegensinya yang rendah, namun cenderung karena kecerdasan emosinya yang
rendah. Daniel Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan bagian
terpenting dari kecerdasan yang lain.[5]
Dalam segi emosional, manusia mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis
kecerdasan yang berlainan yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.
Keberhasilan kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya IQ
saja, akan tetapi kecerdasan emosional-lah yang memegang peranan. Sungguh,
intelektualitas tak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan
emosional.
Banyak
orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anaknya adalah tugasnya para
guru dan institusi pendidikan, Sementara mereka sendiri asyik dengan profesinya
sendiri. Implikasi dari pendapat ini adalah munculnya ketidakpedulian orang tua
terhadap perkembangan spiritual, intelektual dan moral anaknya sendiri. Ketika
anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak pertama yang ditudingnya adalah guru
dan institusi pendidikan. Pendapat seperti ini jelas keliru dan merugikan diri
kita sendiri. Bagaimanapun, guru, sekolah dan institusi pendidikan lainnya,
hanyalah pihak yang membantu mencerdaskan anak-anak kita. Tugas utama mencerdaskan
anak, tetaplah ada pada orang tua itu sendiri.
dunia pendidikan sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan
karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut yang menunjukan
sikap yang kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran,
melakukan tindakan kriminal, pencurian, penodong, penyimpanan seksual,
menyalah-gunakan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Perbuatan itu
benar-benar telah meresahkan masyarakat dan para aparat keamanan.[6]
Salah
satu penyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan lulusan yang
diharapkan adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan
intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina
kecerdasan emosional.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di paparkan, maka
tertarik untuk menganalisis permasalahan tersebut kemudian di tuangkan dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “Pengembangkan Kecerdasan Emosional pada Anak dalam
Perspektif Pendidikan Islam”.
METODOLOGI
a. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Karena
permasalahan yang akan diteliti tentang bagaimana pengembangan kecerdasan emosional
anak menurut perspektif pendidikan Islam maka dari itu
diperlukan banyaknya literatur yang relevan dan sesuai dengan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian
ini.
Dan
dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini di dasarkan pada
pertanyaan dasar, yaitu bagaimana[7]
Metode deskriptif menurut Bugin, “ Metode yang bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau bagaimana fenomena realitas
sosial yang ada, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu
ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi,
ataupun fenomena yang ada”. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan
tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik
objek atau subjek yang diteliti secara tepat.
b. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
merupakan langkah utama dalam penelitian skripsi ini, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Untuk memudahkan
pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan
permasalahan dalam penelitian ini, karena penulis menggunakan metode penelitian
studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa
tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam- macam material yang terdapat di ruangan
perpustakaan untuk mencari pijakan atau fondasi landasan teori, misalnya berupa
jurnal, buku-buku yang relevan, majalah, naskah, surat kabar, internet dan
sumber lain yang berhubungan dengan kecerdasan emosional menurut perspektif
pendidikan islam.
Setelah data-data terkumpul lengkap,
berikutnya penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi
dan mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok pembahasan,
untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam suatu pembahasan yang utuh.
c.
Teknik Analisis Data
Dalam
proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang
terdiri dari empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan.
Analisis data merupakan proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan dalam unit-unit, memilih mana yang paling penting dan
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah di pahami oleh diri
sendri maupun pembaca.[8]
PEMBAHASAN
a.
Pengembangan Kecerdasan Emosional pada Anak
Pengembangan
berasal dari kata dasar “kembang” yang mempunyai arti mekar, terbuka, menjadi
bertambah sempurna pola pikir atau perilaku seseorang yang terjadi sebagai
suatu fungsi yang mempengaruhi biologis dan lingkungan.[9]
Pengembangan berarti perbuaan mengembangkan atau menjadi sesuatu lebih baik dan
sempurna.
Sedangkan Kecerdasan
emosional diartikan sebagai kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan
perasaan orang lain, secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan
emosi sebagai sumber energi manusia, informasi, hubungan, dan pengaruh.
Pengembangan
kecerdasan emosional haruslah dimiliki oleh Manusia sebagai mahluk
Allah yang paling potensial. Terkhususnya pada anak-anak yang berada pada fase perkembangan karena
memilki kecerdasan emosional dapat membentuk anak menjadi lebih baik dan
sempurna dengan sesuatu kemampuan untuk mengetahui, mengenali, memahami dan merasakan
keinginan dan dapat mengambil hikmah sehingga diri akan memperoleh kemudahan
untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain.
Anak yang memiliki kecerdasan emosional merupakan
anak yang memiliki keterampilan (Skill)
diantaranya adalah ketrampilan memahami pengalaman emosi pribadi, mengendalikan
emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain, dan mengembangkan
hubungan dengan orang lain.[10]
Pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi
manusia selaras dengan tugas pendidikan adalah menemukan dan mengembangkan
kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga dapat diaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan
emosional juga terkait dengan potensi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia
harus mampu menempatkan diri dan berperan
sesuai dengan statusnya
dalam masyarakat dan lingkungan dimanapun manusia itu berada. Kehidupan sosial
diawali dari tingkat sosial yang terkecil, yaitu keluarga, kerabat, tetangga,
suku atau etnis, bangsa hingga ke masyarakat dunia. Didalam QS. Luqman
(3) ayat 17 di jelaskan:
Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Terjemahannya:
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).[11]
Berdasarkan maksud
dari tafsir penjelasan ayat diatas memerintahkan untuk mendidik anak untuk memelihara dan pengembangan yang
mereka alami seperti halnya
kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi manusia selaras dengan fungsi
pendidikan yaitu sebagai upaya mengembangkan semua potensi manusia secara
maksimal menuju kepribadian yang utama (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
Dalam sebuah penelitian (Gohm dan Clore) menjabarkan empat sifat paten pengalaman
emosional ketika sedang berada dalam suasana emosi tertentu.[12]
Dan hasilnya ternyata sangat berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, kesehatan
mental, kecemasan, dan gaya atribusi kita. Keempat sifat laten tersebut ialah:
a.
Kejelasan (emotional clarity), dijabarkan sebagai
kemampuan seseorang dalam mengidentifikasikan dan membedakan emosi spesifik
yang sedang dirasakannya.
b. Intensitas (emotional
intensity), diartikan seberapa kuat atau besar intensitas emosi spesifik
yang dapat dirasakannya.
c. Perhatian
(Emotional Attention) dijelaskan
sebagai kecenderungan seseorang untuk mampu memahami,
menilai, dan menghargai emosi spesifik yang dirasakannya.
d. Ekspresi
(Emotional Expression), didefenisikan sebagai
kecenderungan untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakannya kepada
orang lain.
e.
Aktualisasi
dari kecerdasan emosional dapat membentuk kepribadian manusia. Meskipun
demikian dalam aktualisasinya kecerdasan emosional itu juga dipengaruhi oleh
faktor heriditas dan lingkungan, sehingga tingkat kecerdasan emosional antara
manusia sangat bervariatif.
f.
Sehingga
dapat kita ambil benang merahnya keuntungan anak ketika memiliki kecerdasan
emosional. Pertama, kecerdasan emosional jelas mampu menjadi alat untuk
mengendalikan diri, sehingga
seseorang tidak terjerumus kedalam hal-hal yang negatif, yang dapat merugikan
dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Kedua, kecerdasan emosional bisa
diimplementasikan sebagai cara yang sangat baik untuk memasarkan atau
membesarkan ide, konsep atau bahkan sebuah produk. Ketiga, kecerdasan emosional
adalah modal penting bagi seseorang dalam mengembangkanbakat kepemimpinan dalam bidang apapun juga.
Komponen penting dalam pengembangan kecerdasan emosional
anak, yaitu:
1.
Mengenali emosi diri –
kesadaran diri (knowing one’s
emotions-self- awareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang
pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri
sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan
diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional memberikan
informasi penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak menyenangkan.
Pada saat yang sama, kesadaran diri dapat membantu mengelola diri sendiri dan
hubungan antar personal serta menyadari emosi dan pikiran sendiri. Semakin tinggi
kesadaran diri, maka akan semakin pandai dalam menangani perilaku negatif pada
diri sendiri.
2.
Mengelolah emosi (managing emotions), yaitu menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka
terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu
tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi. Orang yang memiliki kecerdasan
emosional adalah orang yang mampu menguasai, mengelola dan mengarahkan emosinya
dengan baik. Pengendalian emosi tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau
menahan gejolak emosi, melainkan juga bisa berarti dengan sengaja menghayati
suatu emosi, termasuk emosi yang tidak menyenangkan.
3.
Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan
hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju
sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta
bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi adalah memanfaatkan
emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang. Ini berarti bahwa
antara motivasi dan emosi mempunyai hubungan yang sangat erat. Perasaan (emosi)
menentukan tindakan seseorang, dan sebaliknya perilaku sering kali menentukan
bagaimana emosinya. Bahkan menurut Goleman, motivasi dan emosi pada dasarnya
memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggerakkan. Motivasi menggerakkan manusia
untuk meraih sasaran, emosi menjadi bahan bakar untuk memotivasi pada
gilirannya menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan.
4.
Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) – empati,
yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan orang banyak atau masyarakat. Hal ini berarti orang yang memiliki
kecerdasan emosional ditandai dengan kemampuannya untuk memahami perasaan atau
emosi orang lain. Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih
sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti melalui nada suara,
ekspresi wajah, garak-gerik, dan sebagainya. Kemampuan mengindra, memahami,
membaca perasaan dan emosi orang lain melalui pesan-pesan non-verbal
inimerupakan intisari dari empati.
5.
Membina hubungan (handling relationships), yaitu kemampuan
mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang
lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar,
memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Singkatnya,
keterampilan sosial merupakan seni mempengaruhi orang lain.
Mengembangkan
kecerdasan emosional anak, sangat perlu pendidikan anak sejak usia dini
yang merupakan investasi untuk menyiapkan generasi penerus yang sehat, cerdas,
dan ceria. Betapa pendidikan prasekolah tetapi pendidikan anak justru belum
banyak mendapat dari berbagai pihak. Dari aspek pendidikan, stimulasi diri
sangat diperlukan guna memberikan rangsangan terhadap seluruh aspek
perkembangan anak termasuk kecerdasan emosional anak.
Peran
pendidik dan orangtua disini tidak dapat diabaikan, dalam mendidik anak menuk
kecerdasan emosional menjadi sesuatu yang perlu dilestarikan tidak hanya
melepaskan manusia dari bencana kemanusiaan tetapi juga membentuk kecerdasan
emosional yang terbukti memainkan peranan dalam menentukan sekses tidaknya
seseorang.
b.
Mengembangkan Kecerdasan Emosional pada Anak menurut Perspekif Pendidikan Islam
Mengembangkan kecerdasan emosional merupakan kewajiban bagi setiap orang tua, guru, dan masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial. Untuk
itu dalam hal mengembangkan kecerdasan emosional yaitu skil-skil kecerdasan
selalu memperhatikan dan memanfaatkan untuk keberhasilan seorang anak. Hal ini
ketika diterapkan dalam pendidikan sebagai transfer
of knowledge dan transfer of value, maka pendidikan akan dapat berhasil dengan
baik. Pelajaran akan mudah diterima, dan peserta didik akan mempunyai emosi
yang cerdas serta mempunyai semangat untuk merealisasikan hasil pendidikan yang
diperolehnya, dengan hati tenang dan tentram maka akan menghasilkan pola
berfikir dan bertingkah laku yang baik dan akan mengantarkan seseorang yang
cerdas dalam hal emosional dan intelektualnya.
Dalam kaitannya
dengan mengembangkan kecerdasan emosional anak, peran orang tua sangat penting, orang
tua setahap demi setahap dapat merekayasa pengalaman-pengalaman yang dapat
membesarkan hati anak dan memungkinkan koreksi atas temperamen anak. Agar anak
mampu mengontrol emosinya dan menjaga agar tindakannya tidak dikendalikan emosi
semata, anak harus diajarkan memahami apa yang yang diharapkan dari dirinya
serta dilatih untuk memahami orang lain. Perlu diberi pemahaman bahwa segala
tindakannya akan membawa konsekuensi baik pada dirinya maupun orang lain. Makin
sering anak berlatih mengelola emosi, seperti meredakan marah atau kecewa, maka
semakin terlatih ia dalam mengelola emosi. Selain itu, orang tua juga perlu
berhati-hati karena seperti juga kecerdasan kognitif, kecerdasan emosi
merupakan kondisi yang netral secara normal. Jadi, hendaknya orang selalu
menggunakan kompas moral dalam membimbing anaknya.
Mempersiapkan perkembangan kecerdasan emosional anak
sangat penting, karena akan menentukan bagaimana anak bertumbuh kembang dengan
kecerdasan emosional di tahap perkembangan berikutnya.pada masa anak-anak,
mereka banyak menghadapi berbagai permasalahan baik fisik maupun emosionalnya.
yang ditunjukkan lewat tingkahlaku yang dipandang bermasalah. Masalah emosional
pada anak yang cukup sering terjadi adalah sebagai berikut:
1) Temper
tantrum tidak pada usianya
2) Ekspresi
emosi yang tidak tepat
3) Kecemburuan
pada sibling yang berlebihan
4) Sulit
ditinggal orang tua untuk bekerja
5) Berebut
mainan
6) Rendahnya
ketrampilan sosialisasi
7) Dikucilkan
oleh teman-teman
8) Tidak
peduli dengan orang lain/teman
9) Bunuh
diri pada anak
10) Bullying
di sekolah dan lingkungan bermain
11) Berkelahi
di sekolah
Pengembangan kecerdasan mental dan emosional bisa
dilakukan orang tua dalam setiap aspek kehidupan anak. Gambaran sesuatu yang
dialami anak dimasa lalunya menjadi penentu bagaimana mereka bersikap,
bertingkah laku, termasuk pola tanggap emosi. Semua pengalaman emosi di masa
kanak-kanak dan remaja akan menjadi penentu kecerdasannya. Tanggapan, belaian,
maupun bentakan yang menyakitkan dan sebagainya akan masuk ke gudang emosi yang
berpusat di otak.
Dalam perpektif pendidikan Islam yang
termasuk dalam kecerdasan emosional yaitu; yang berhubungan dengan
kecakapan emosi dan spiritual seperti konsistensi (istiqomah), kerendahan hati (tawadhu),
berusaha dan berserah diri (tawakal),
integritas dan penyempurnaan (ihsan)
itu dinamakan Akhlakul Karimah. Dalam kecerdasan emosi, hal-hal yang telah
disebutkan diatas itu yang dijadikan tolak ukur kecerdasan emosi, seperti
integritas, komitmen, konsistensi, sincerity,
dan totalitas.[13]
Oleh karena itu kecerdasan emosional sebenarnya
akhlak dalam agama islam yang telah diajarkan oleh baginda nabi Muhammad Saw
seribu empat ratus tahu yang lalu. Hal tersebut selaras dengan Penelitian yang dilakukan oleh Nuraidah yang berjudul “Pengaruh
kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11 tahun di MI
Annuriyah Beji Depok”. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan metode
penelitian deskriptif dan dalam pengolahan datanya menggunakan SPSS
(Statistical Package for Social Science). Hasil dari penelitian tersebut
menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap
Perkembangan Akhlak anak. Artinya Semakin tinggi kecerdasan Emosional anak maka
semakin tinggi pula tingkat perkembangan Akhlak Anak.[14]
Beberapa faktor yang perlu dikembangkan dalam
kaitanya dengan kecerdasan emosional anak yaitu :
1. Melatih anak untuk mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri
merupakan dasar dari kemampuan kecerdasan emosional. Dalam psikologi hal
tersebut dikenal dengan metamood yakni kesadaran seseorang akan emosinya
sendiri, menurut Mayer, kewaspadaan terhadap sesuatu hati atau pikiran tentang
suasana hati jika tidak dilatih maka akan mudah sekali membawa seseorang ke
dalam aliran emosi yang dikuasai oleh emosi. Adanya kesadaran diri tidaklah
menjamin penguasaan emosi, tetapi merupakan salah satu persyaratan penting
untuk mengendalikan emosi sehingga individu dapat dengan mudah menguasai
emosinya.
2.
Melatih anak untuk mengolah emosi
Mengelola emosi
merupakan kemampuan individu untuk menangani perasaan agar dapat terungkap
dengan tepat atau selaras sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu,
menjaga agar emosi yang merisaukan terkendali merupakan kunci menuju
kesejahteraan emosi.
3.
Melatih anak memotivasi diri sendiri
Dengan dimilikinya
motivasi dalam diri individu berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri
mengendalikan dorongan hati serta mempunyai perasaan motivasi yang positif
yaitu : antusiasme, optimis
4.
Melatih anak untuk mengenali emosi orang
lain
Kemampuan untuk
mengenal emosi orang lain disebut juga empati, menurut Goleman kemampuan
seseorang untuk mengenali orang lain atau peribadi merupakan kemampuan empati
seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan sehingga ia memiliki kemampuan menerima sudut pandang orang lain,
peka terhadap perasaan orang lain dan memiliki kemampuan untuk mendengarkan
orang lain.
PENUTUP
Kecerdasan emosional anak pada awalnya adalah dengan
mengoptimalkan peran anak dalam kehidupan sehari-hari. Langkah tersebut dapat
diawali dengan mengembangkan lima wilayah kecerdasan emosional, antara lain
kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain serta membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Agar lima wilayah kecerdasan emosional yang dikenalkan pada anak bisa
tersampaikan dengan baik, perlu juga didukung dengan kemampuan kecerdasan
emosional orang tua maupun guru. Para orang tua dan guru adalah orang terdekat
anak-anak, oleh karena itu mereka perlu memberikan teladan terlebih dahulu agar
anak yang mempunyai potensi luar biasa bisa mempelajari keterampilan emosional
dari orang-orang dewasa terdekatnya secara lebih baik.
Berdasarkan
dari lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan sosial/masyarakat perlu
memberikan teladan dalam bentuk memberikan suasana bermain yang merefleksikan
lima wilayah kecerdasan emosional anak tersebut. Dengan demikian, kecerdasan
emosional anak akan semakin tergali jika didukung oleh teladan yang diberikan
oleh orang-orang terdekatnya baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah
maupun dalam lingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan:
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam diIndonesia, Bogor: Kencana, 2003.
Ahmad
Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
Daniel Goleman, Kecerdasan
Emosional (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.
Departemen Agama RI. Alquran dan
Terjemahannya. Bandung:
CV Penerbit J Art, 2014.
Dewa
Ketut Sukardi dan Desak Made Sumiati, Kamus
Istilah Bimbingan Penyuluhan Surabaya: Usaha Nasional, 2000.
Monty P.Satiadarma. Mendidik
Kecerdasan. Jakarta:
Pustaka Populer Obor 2003.
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik
Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li
Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji. Bandung:Al-Bayan. 2000.
Nuraidah, “Pengaruh
kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak
anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi
pada Fakultas Ilm
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013.
Sugiyono. Memahami
Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV. Alfabeta, 2008.
Triantoro Safaria dan
Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi:
Sebuah Panduan Cerdas
Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara,
2009.
W.
Gulo. Metodologi Penelitian,(Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2002.
[1] Muhammad
Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama
Rasulullah, Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh
Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji, (Bandung:Al-Bayan, 2000), Cet. I, h.
35.
[2] Daniel
Goleman, Kecerdasan Emosional (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), h.44
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,2007), Cet. 7, h. 160.
[4] Departemen
Agama RI. Alquran dan Terjemahannya. ( Bandung: CV Penerbit J Art, 2014)
[5] Daniel
Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari
Emotional Intellegence oleh T. Hermaya,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama:
1996). Cet. I, h. 38.
[6] Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam diIndonesia, (Bogor: Kencana, 2003), h. 45.
[7] W. Gulo. Metodologi
Penelitian,(Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), Cet. 4.
[8] Sugiyono. Memahami
Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV. Alfabeta, 2008.
Cet. 4
[9] Dewa Ketut Sukardi dan
Desak Made Sumiati, Kamus Istilah
Bimbingan Penyuluhan (Surabaya: Usaha Nasional, 2000). h. 49.
[10] Monty P.Satiadarma. Mendidik
Kecerdasan, ( Jakarta: Pustaka Populer Obor 2003). h. 33
[11] Departemen Agama RI, Al
Qur’an dan terjemahan. 2014.
[12] Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas
Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. I.16.
[13] Ari Ginanjar agustian,
ESQ. Hal. 279. 2005.
[14]Nuraidah,
“Pengaruh kecerdasan emosional terhadap
perkembangan akhlak anak usia 8 – 11
tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak
dipublikasikan.
Comments
Post a Comment